Dalam lanskap digital yang didorong oleh hasil dan metrik, perdebatan lama antara intuisi kreatif dan analisis terukur telah menemukan titik temunya dalam desain User Experience (UX) dan User Interface (UI). Salah satu tokoh yang gencar mengadvokasi sintesis ini adalah Neil Robinson, seorang pemimpin berpengalaman di industri kreatif, yang berpegang teguh pada prinsip bahwa data harus jadi basis keputusan desain UX/UI yang efektif dan impactful. Prinsip ini bukan hanya sekadar tren, melainkan sebuah filosofi yang mengubah desain dari seni subjektif menjadi ilmu yang berorientasi pada pengguna dan bisnis.
Inti dari argumen Neil Robinson adalah pengakuan bahwa desainer, seintuitif apa pun mereka, tetap memiliki bias dan asumsi pribadi. Asumsi ini, jika tidak diuji, dapat menghasilkan produk yang terlihat bagus namun gagal melayani kebutuhan nyata pengguna, atau yang lebih buruk, gagal mencapai tujuan bisnis. Inilah mengapa data harus jadi basis keputusan desain. Data, baik kualitatif (wawancara pengguna, uji usability) maupun kuantitatif (analitik situs, A/B testing, peta panas heatmap), memberikan gambaran objektif tentang perilaku pengguna. Data kuantitatif mengungkapkan apa yang dilakukan pengguna, sementara data kualitatif menjelaskan mengapa mereka melakukannya.
Menggunakan data harus jadi basis keputusan desain UX/UI memungkinkan tim untuk memvalidasi hipotesis secara ilmiah. Sebelum A/B testing ada, perubahan desain seringkali didasarkan pada pendapat stakeholder tertinggi, bukan pada kebutuhan pengguna. Sekarang, desainer dapat menguji dua versi antarmuka untuk melihat mana yang menghasilkan tingkat konversi lebih tinggi, waktu task completion yang lebih singkat, atau tingkat bounce rate yang lebih rendah. Misalnya, jika data analitik menunjukkan bahwa pengguna kesulitan menemukan tombol checkout, keputusan desain untuk mengubah warna, ukuran, atau posisi tombol tersebut tidak lagi berdasarkan selera desainer, melainkan didasarkan pada bukti konkret bahwa desain saat ini menghambat tujuan pengguna.
Neil Robinson juga menekankan bahwa fokus pada data harus jadi basis keputusan desain akan meningkatkan empati pengguna secara nyata. Intuisi dapat membuat kita bersimpati, tetapi data yang valid akan menuntun kita pada empati yang sebenarnya. Ketika wawancara kualitatif mengungkapkan frustrasi berulang dari sekelompok pengguna tertentu, atau data kuantitatif menunjukkan bahwa 80% pengguna keluar pada langkah tertentu dalam funnel pembelian, desainer dipaksa untuk melihat melampaui estetika dan menggali akar masalah fungsionalitas. Pendekatan ini memastikan bahwa produk yang dihasilkan benar-benar user-centric.
Tantangan utama dalam mengadopsi prinsip bahwa data harus jadi basis keputusan desain adalah mengintegrasikan data ke dalam alur kerja kreatif tanpa memadamkan kreativitas itu sendiri. Neil Robinson menyarankan desainer untuk melihat data bukan sebagai rantai yang membatasi, tetapi sebagai kanvas yang terdefinisi. Data memberikan batasan (misalnya, pengguna Anda kesulitan membaca font kecil), yang pada gilirannya mendorong solusi kreatif yang lebih baik karena harus memecahkan masalah nyata dalam batasan yang terbukti. Desainer yang mahir bukan hanya mengikuti data, tetapi juga tahu bagaimana menginterpretasikan data dengan bijak. Mereka tahu kapan data kuantitatif harus diimbangi dengan insight kualitatif untuk menghindari optimasi lokal yang justru merugikan pengalaman pengguna secara keseluruhan.
